Oleh: KH Akhmad Khambali,SE,MM Pengasuh Ponpes Wirausaha Ahlul Kirom dan Ketua Umum Gema Santri Nusa. (harian24news.id/Ist)
Guru/Ustadz/Kyai bukan hanya sosok pengajar yang mentransfer ilmu pengetahuan kepada Santri, tetapi juga pendidik yang memiliki tanggung jawab membentuk karakter, etika, dan moral generasi penerus bangsa. Fungsi penting Guru/ Ustadz/Kyai adalah mengajar untuk menjadikan anak didik pintar sekaligus mendidik untuk menjadikan mereka baik. Kedua peran ini sangat penting dan tidak bisa dipisahkan.
Namun, di tengah perkembangan zaman dan kompleksitas tantangan sosial saat ini, tidak sedikit Guru/Ustadz/Kyai yang mengalami penurunan motivasi. Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya apresiasi, minimnya dukungan dari lingkungan sekitar, serta berbagai tekanan yang datang dari Wali Santri maupun sistem pendidikan itu sendiri.
Akibatnya, ada kekhawatiran bahwa Ustadz/Guru/Kyai hanya akan menjalankan perannya secara mekanis mengajar tanpa benar-benar mendidik.
Padahal, mendidik bukanlah pekerjaan ringan. Proses mendidik menuntut kesabaran, ketulusan, dan keikhlasan yang luar biasa. Guru/Ustadz/Kyai juga manusia yang memiliki batas emosi dan kelelahan, dan dalam menjalankan tugasnya, ia kerap dihadapkan pada dinamika peserta didik yang berbeda-beda karakter dan latar belakangnya.
Oleh karena itu, penting bagi Wali Santri untuk memahami bahwa Guru/Ustadz/Kyai tidak hanya menghadapi tantangan dari sisi akademik, tetapi juga psikologis dan sosial. Di sinilah pentingnya menyatukan ‘kacamata’ Wali Santri dan Guru/Ustadz/Kyai dalam proses pendidikan di ruang kelas agar visi dan misi yang dibawa bisa terealisasi dengan baik.
Dalam konteks ini, proses belajar-mengajar secara tatap muka langsung memiliki keberkahan tersendiri yang tidak bisa digantikan oleh teknologi atau kecanggihan internet.
Google dapat memberikan informasi, namun tidak bisa menanamkan nilai, membentuk akhlak, atau membimbing anak secara emosional dan spiritual. Di sinilah letak kemuliaan peran Ustadz/Kyai, sebagai pembimbing sejati dalam kehidupan nyata dan tak tergantikan oleh teknologi.
Oleh sebab itu, Wali Santri perlu melihat Ustadz/Kyai sebagai mitra utama dalam mendidik anak, bukan sekadar penyedia jasa pengajaran: mengajar selesai lalu dapat bayaran. Jangan!
Di sini juga muncul pentingnya berkah dalam Pendidikan. Sayangnya, dalam praktiknya, keberkahan dan nilai-nilai luhur dalam proses pendidikan seringkali tidak terukur dan tidak menjadi bagian dalam regulasi formal. Ketika muncul permasalahan kecil antara Ustadz/Kyai dan Santri, sering kali dibesar-besarkan hingga masuk ke ranah hukum atau media sosial.
Contoh nyata seperti yang dialami oleh Kyai Zuhdi, Guru Madrasah Diniyah (Madin) di Demak Jawa Tengah baru-baru ini atau kasus-kasus lain di mana guru/Ust/Kyai harus berhadapan dengan tuntutan hukum, menunjukkan bagaimana persoalan kecil bisa berakibat besar ketika tidak disikapi dengan bijak oleh orang tua/Wali Santri.
Dalam referensi kitab-kitab klasik, proses pendidikan yang ideal harus bertumpu pada aspek batiniah, karena dari situlah muncul ketulusan niat belajar yang membuahkan hasil yang berkah.
Oleh karena itu, penting untuk menekankan kembali pendidikan efektif kepada para peserta didik, di samping aspek kognitif dan psikomotorik. Pendidikan bukan semata-mata persoalan kecerdasan otak, melainkan juga keseimbangan antara ilmu, kelembutan hati, sikap, dan adab. Semua itu seharusnya terintegrasi dalam satu sistem utuh yang menumbuhkan pribadi yang paripurna.
Karena pendidikan yang penuh keberkahan lahir dari sinergi antara guru/Ust/Kyai, orang tua/Wali Santri, dan lingkungan. Dan keberhasilan pendidikan sejati tidak hanya terletak pada nilai ujian, tetapi juga pada karakter dan moral anak-anak yang tumbuh menjadi pribadi yang baik, jujur, dan bertanggung jawab.
Padahal dalam menuntut ilmu, dibutuhkan syarat yang tidak sedikit yang harus diketahui oleh para murid/Santri dan juga orang tua/Wali Santri.
Dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim Tharîq at-Ta’allum karya Imam al-Zarnûji disebutkan bahwa ada enam syarat utama dalam mencari ilmu, sebagaimana terangkum dalam dua bait syair Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah: أَلا لاَ تَناَلُ اْلعِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ – سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ ذكاَءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِباَرٍ وَبُلْغَةٍ – وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ.
Dalam bait tersebut, syarat pertama adalah kecerdasan (dzukā’), tidak hanya dalam hal intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual, di mana akhlak menjadi bagian utama dari kecerdasan sejati. Kedua adalah semangat dan kesungguhan (hirs), yakni tekad kuat untuk terus belajar dan tidak mudah menyerah. Ketiga, kesabaran (ṣabr) dalam menghadapi rintangan selama menuntut ilmu, karena jalan ilmu tidak selalu mulus.
Keempat, biaya dan bekal yang cukup (bulghah). Menuntut ilmu memerlukan pengorbanan, termasuk dalam hal materi. Tidak realistis berharap hasil maksimal dari proses belajar tanpa kesiapan berinvestasi untuk itu. Kelima, bimbingan guru (irsyād ustādz), karena ilmu yang benar harus dibimbing oleh mereka yang memiliki sanad keilmuan yang jelas. Belajar tanpa guru, apalagi dalam ilmu agama, bisa menyesatkan.
Dan terakhir, syarat keenam adalah waktu yang panjang (ṭūl zamān). Ilmu tidak bisa didapat secara instan. Dibutuhkan proses panjang, konsistensi, dan keberlanjutan agar ilmu benar-benar meresap dan berbuah hikmah.
Dengan memahami syarat-syarat ini, semua pihak, khususnya para orang tua/Wali Santri dan siswa/Santri, dapat memandang proses pendidikan dengan lebih utuh dan mendalam, serta menaruh penghargaan tinggi kepada para guru/Ustadz/Kyai yang telah dengan sabar menjalankan perannya di tengah tantangan zaman.
Penulis:
KH Akhmad Khambali,SE,MM Pengasuh Ponpes Wirausaha Ahlul Kirom dan Ketua Umum Gema Santri Nusa. (**)