Denpasar, harian24news.id – Gde Sumarjaya Linggih atau Demer resmi ditetapkan sebagai Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali periode 2025–2030 dalam Musyawarah Daerah (Musda) di Denpasar Minggu, 13/07/25. Ia terpilih secara aklamasi sebagai calon tunggal yang didukung mayoritas pemilik suara. Namun di tengah euforia politik tersebut, muncul kritik tajam dari Garda Tipikor Indonesia (GTI) yang mempertanyakan integritas dan kepatutan Demer dalam menjabat posisi tersebut.
Sekretaris Jenderal DPP Gerakan Terdepan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Indonesia (DPP GTI), Deri Hartono, menyoroti posisi rangkap jabatan yang pernah diemban Demer sebagai Komisaris PT Energi Kita Indonesia (EKI), yakni perusahaan yang mendapat penunjukan langsung dari Kementerian Kesehatan untuk pengadaan alat pelindung diri (APD) senilai lebih dari Rp3 triliun pada masa awal pandemi COVID-19. “Ini bukan proyek kecil. Fakta bahwa perusahaannya terlibat dalam proyek pengadaan nasional berskala besar, pada saat Demer menjabat sebagai komisaris aktif, tidak bisa dianggap sepele,” ujar Deri kepada Jurnal Patroli News, Selasa 15/07/25.
Ia menjelaskan bahwa pada saat proyek tersebut berlangsung, Demer juga memegang jabatan strategis sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, yang membidangi sektor perdagangan, industri, investasi, dan BUMN. “Posisinya di komisi itu memberi dia fungsi pengawasan langsung terhadap kementerian dan sektor yang terkait dengan pengadaan tersebut. Jadi bagaimana bisa dikatakan tidak ada konflik kepentingan? Apakah mungkin uang triliunan dan proyek yang jadi sorotan seluruh bangsa ini, dia tidak tahu, baik sebagai pengawas DPR maupun komisaris perusahaan swasta?”
Menurut Deri, situasi tersebut secara langsung berpotensi melanggar Pasal 236 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang menyatakan:
“Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai anggota DPR.”
Deri menegaskan bahwa unsur norma pasal tersebut dapat dibuktikan secara konkret dan tidak bersifat asumtif. Ia merinci bahwa:
Demer menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI yang secara kelembagaan mengawasi sektor perdagangan dan industri;
PT EKI, tempat Demer menjadi komisaris aktif, mendapatkan proyek dari sektor yang menjadi ruang lingkup Komisi VI;
Hubungan jabatan tersebut bersifat struktural dan aktif.
“Dengan tiga fakta itu saja, maka unsur pekerjaan yang ada hubungannya dengan sebab akibat dalam wewenang dan tugas DPR sudah jelas terpenuhi. Maka, pelanggaran terhadap Pasal 236 ayat (2) bukan hanya dugaan, tapi dapat dipertimbangkan dibuktikan dengan dokumen dan jabatan formal yang sah,” tegas Deri.
Ia juga mengingatkan bahwa Pasal 237 ayat (2) UU MD3 mengatur secara tegas:
“Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR.”
“Jadi ini bukan hanya soal etika, namun soal Marwah, martabat, dan kehormatan lembaga DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat yang terhormat. Kalau DPR RI tidak bereaksi, maka hemat kami ini bukan lagi sekadar pembiaran, tapi penyangkalan terhadap norma hukum yang dibuat oleh lembaga itu sendiri,” katanya.
Dari sisi internal Partai Golkar, Deri menyayangkan bahwa konstitusi partai tidak dijadikan pedoman utama dalam penetapan kader. Ia merujuk pada Pasal 19 ayat (2) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar, yang mewajibkan pemenuhan prinsip PDLT: Prestasi, Dedikasi, Disiplin, Loyalitas, dan Tidak Tercela.
“Kalau kader yang sedang diperiksa KPK, dan punya jejak rangkap jabatan dalam posisi yang beririsan langsung, masih dikatakan memenuhi unsur tidak tercela, lalu bagaimana nasib kader lain yang berjuang dengan lurus?” tanya Deri.
Ia menambahkan bahwa istilah “tidak tercela” tidak boleh dimaknai semata-mata dari status belum dipidana. “Tidak tercela itu mencakup rekam jejak akal sehat publik, persepsi moral, dan konsistensi perilaku terhadap norma konstitusi organisasi maupun etika bernegara,” ujarnya.
Penetapan Demer sebagai Ketua DPD Golkar Bali, menurut Deri, mungkin sah secara administratif Musda. Namun jika proses itu tidak memperhitungkan fakta hukum dan konstitusi ad/art partai, maka penetapan tersebut menurut pandangannya dapat dianggap cacat hukum secara substansi, moral, dan etika.
“Ke depan publik akan menilai apakah DPR dan partai Golkar berani menegakkan aturan mainnya sendiri atau terus membiarkan kompromi dan kepentingan sesaat merusak jati diri sebagai partai dan anggota dewan yang menjunjung integritas dan modernitas politik”, ujarnya. (**)