Jakarta, harian24news.id- Di tengah geliat pembangunan infrastruktur Ibu Kota, satu kisah ketidakadilan mencuat dari pinggiran Kali Pesanggrahan, Jakarta Barat. Lukman Astanto, warga Perumahan Vila Kelapa Dua, masih berjuang menagih hak atas tanah bersertifikat seluas 5.233 meter persegi yang kini telah berubah fungsi menjadi jalan inspeksi dan badan sungai dalam proyek normalisasi yang berjalan sejak 2017.
Sudah lebih dari tujuh tahun berlalu, namun ganti rugi tak kunjung diterima. Terakhir, Lukman mengajukan surat resmi permohonan pembayaran pada 24 Mei 2024 kepada Gubernur DKI Jakarta, yang juga ditembuskan ke berbagai instansi dari DPRD, Kantor Pertanahan, hingga Ombudsman RI dan media massa. Semua itu dilakukan karena, menurutnya, tak ada satupun jawaban konkret dari pihak pemerintah daerah.
“Kami tidak pernah menolak proyek pengendalian banjir. Tapi jangan abaikan hak pemilik sah atas tanah yang digunakan,” ujar Hendrik A. Sinaga, kuasa hukum Lukman, menegaskan, kepada awak media, Rabu (2/7/2025).
Tanah Resmi, Digunakan Tanpa Ganti Rugi
Dua sertifikat hak guna bangunan (SHGB) milik Lukman terdampak dalam proyek ini:
– SHGB No. 1078 (3.634 m²): dipakai 1.386 m² untuk jalan inspeksi dan 2.248 m² untuk badan sungai.
– SHGB No. 1068 (1.599 m²): diambil 538 m² untuk jalan inspeksi dan 21 m² untuk badan sungai.
Total luas lahan yang kini dimanfaatkan pemerintah mencapai 5.233 m² tanpa satu pun rupiah ganti rugi diterima hingga kini.
Padahal, regulasi sangat jelas. Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum menyebut dalam Pasal 40 ayat (1) bahwa ganti rugi wajib diberikan sebelum lahan digunakan. Hal serupa ditegaskan dalam PP No. 19 Tahun 2021 Pasal 87. Bila aturan ini dilanggar, maka tindakan itu berpotensi dikategorikan sebagai maladministrasi, sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.
Mengetuk Pintu Hukum dan Keadilan
Merasa jalan musyawarah buntu, Lukman dan kuasa hukumnya membuka opsi langkah hukum, baik secara perdata maupun pidana, jika pemerintah tetap diam. Meski begitu, mereka masih berharap penyelesaian bisa dilakukan secara damai dan bermartabat.
“Yang kami minta bukan belas kasihan, tapi penegakan hak atas kepemilikan yang sah. Jangan sampai proyek publik berdiri di atas penderitaan warga,” imbuh Hendrik.
Panggilan untuk Negara Hukum
Kasus ini menjadi cerminan masalah laten dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum: pembangunan sering kali berjalan cepat, namun administrasi keadilan tertinggal jauh di belakang. Alih-alih mendapatkan ganti rugi, pemilik tanah hanya bisa melihat tanahnya berubah fungsi, tanpa kejelasan status maupun kepastian hukum.
Salah satu kritik tajam datang dari lembaga pengawasan kebijakan, Integritas Online:
“Tanah sudah menjadi jalan umum, sudah jadi saluran air… tapi warga hanya bisa menatap dari jauh tanpa kepastian.”
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terutama Dinas Sumber Daya Air, bersama DPRD dan Ombudsman RI, didesak segera turun tangan. Proses pengadaan tanah seharusnya bukan hanya soal anggaran dan progres fisik, tetapi juga soal etika administrasi dan keadilan sosial. (**)