Oleh : KH. Akhmad Khambali,SE,MM
Motivator & Ketua Umum Gema Santri Nusa. (harian24news.id/Ist)
Pernahkah Anda merasa frustrasi dan bertanya dalam hati:
_“Mengapa orang lain tidak mendengarkan saya?”_
_“Mengapa dia tidak membantu saya?”_
_“Mengapa mereka tidak mau mengikuti saya?”_
Pertanyaan-pertanyaan ini terdengar sangat manusiawi. Namun jika diperhatikan baik-baik, ada satu benang merah yang menghubungkan semuanya: kata *”saya”*
Semua keluh kesah itu berpusat pada kepentingan diri sendiri. Padahal, hubungan yang sehat tidak dibangun di atas ego. Hubungan yang sehat justru terjadi ketika kita mampu _melampaui diri sendiri, hadir untuk orang lain, dan memberi ruang bagi mereka._
Hari ini, banyak orang terjebak dalam dorongan untuk menunjukkan siapa saya, membuktikan bahwa saya benar, atau meyakinkan bahwa saya pantas diperlakukan lebih baik. Namun anehnya, semakin keras seseorang berusaha untuk diperhatikan, semakin pula ia diabaikan. *Mengapa?”*
Karena hubungan bukan tentang _“saya”._
Hubungan adalah tentang _“kita”_. Tentang bagaimana saya bisa memahami dan menghargai _“kamu”._
*Kunci pertama* untuk membangun hubungan yang autentik bukanlah bicara lebih banyak, melainkan _mendengarkan lebih dalam_. Bukan tentang memberi tahu siapa diri Anda, tetapi tentang _memahami siapa mereka._
*Menerima Dulu, Memahami Kemudian*
Langkah pertama yang sangat mendasar dalam menjalin hubungan adalah _menerima orang lain apa adanya_. Bukan versi idealnya. Bukan versi yang sesuai harapan Anda. Tetapi menerima mereka sebagaimana mereka ada—dengan segala pola pikir, latar belakang, dan kebiasaan yang membentuk mereka saat ini.
Setelah itu, barulah kita bisa masuk ke tahap berikutnya: memahami cara berpikir mereka. Dalam ilmu *NLP,* ini dikenal dengan istilah _model of the world_ —yakni peta mental yang setiap orang bangun berdasarkan pengalaman hidup, nilai-nilai, dan kepercayaannya. Peta inilah yang membentuk cara seseorang berbicara, bersikap, dan mengambil keputusan.
Memahami _model dunia orang lain_ adalah jembatan. Ia menghubungkan realitas Anda dengan realitas mereka. Tanpa jembatan ini, komunikasi hanyalah dua monolog yang saling bersilang tanpa pernah bertemu.
*Mengapa Ini Penting?*
*Pertama* karena setiap individu itu unik. Bahkan saudara kembar yang lahir dari rahim yang sama pun memiliki perbedaan cara berpikir dan merespons dunia. Setiap orang menjalani hidupnya melalui lensa subjektif masing-masing. Maka, ketika seseorang bersikap atau berkata sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasi Anda, bukan berarti mereka salah—bisa jadi, mereka hanya melihat dunia dari jendela yang berbeda.
*Kedua,* karena di balik setiap perilaku, selalu ada niat baik. Ya, selalu. Niat baik ini mungkin belum terlihat karena cara mengekspresikannya tidak tepat, tidak efektif, atau bahkan destruktif.. Tapi jika Anda bersedia menggali lebih dalam, Anda akan menemukan bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah bentuk adaptasi terbaik yang mereka bisa—berdasarkan sumber daya yang mereka miliki saat itu.
Jadi, daripada menghakimi, lebih bijak jika kita bertanya:
_“Apa yang coba orang ini capai melalui perilaku tersebut?”_
_“Apa kebutuhan atau niat positif yang mungkin tersembunyi di balik sikap ini?”_
*Tiga Sikap Mendasar dalam Memahami Orang Lain*
Agar mampu memahami orang lain secara tulus, Anda perlu membangun tiga sikap mendasar berikut:
*Minat yang tulus pada orang lain*
Bukan sekadar basa-basi. Tapi benar-benar peduli dan ingin tahu. Ini akan tercermin dari bahasa tubuh Anda, dari mata yang menatap tanpa menghakimi, dari waktu yang Anda sisihkan untuk hadir utuh.
*Kesediaan untuk melihat dari sudut pandang mereka*
Ini bukan berarti Anda harus selalu setuju. Tapi berusaha melihat dari mana mereka datang, mengapa mereka bisa sampai pada pikiran atau keputusan tertentu.
*Kemauan untuk mendengarkan dan bertanya dengan empati*
Pertanyaan yang diajukan bukan untuk membantah, tapi untuk menggali. Untuk memperjelas. Untuk mengungkap realitas mereka yang mungkin selama ini tersembunyi di balik pertahanan diri.
Menyingkirkan Cermin, Membuka Jendela
Ego sering kali bertindak seperti cermin. Ia memantulkan segala sesuatu kembali kepada diri sendiri. Ketika Anda berinteraksi melalui cermin ego ini, semua yang Anda lihat adalah bayangan diri Anda sendiri. Anda tidak sungguh-sungguh melihat orang lain.
*Coba tukar cermin itu dengan jendela.* Melalui jendela, Anda tidak melihat diri sendiri, tapi dunia luar. Anda bisa mengamati, memahami, dan akhirnya—terhubung.
-“Untuk memakai kacamata orang lain, lepaskanlah kacamata Anda terlebih dahulu.”_ – Anonim
Sudah saatnya berhenti berharap dunia berputar sesuai harapan kita.